Setelah puluhan tahun bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah kantor kecil di Semarang, Pak Hadi (63) akhirnya pensiun. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk hidup sederhana bersama istrinya, Bu Rini (59). Sejak muda, mereka punya satu cita-cita yang terus disimpan rapat: menunaikan umroh bersama.
“Setiap kali lihat berita orang berangkat umroh, hati ini selalu bergetar. Tapi waktu itu, kami selalu bilang, belum rezeki,” kenang Bu Rini dengan senyum lembut.
Begitu Pak Hadi menerima uang pensiun, hal pertama yang ia lakukan bukan membeli mobil atau merenovasi rumah—tapi membuka buku tabungan lama bertuliskan “Tabungan Umroh”. Ia menatap istrinya dan berkata pelan, “Bu, kayanya waktunya kita berangkat ke Baitullah.”
Namun ketika mereka mulai mencari informasi, harga paket umroh terasa memberatkan. Belum lagi jadwal travel yang sering tak fleksibel. “Saya sudah tidak sekuat dulu,” ujar Pak Hadi. “Kalau ikut rombongan besar, takutnya malah kerepotan.”
Sampai akhirnya, anak mereka yang bekerja di Jakarta memperkenalkan konsep umroh mandiri. “Sekarang banyak jamaah berangkat sendiri, asal tetap lewat jalur resmi, Pak,” ujar anaknya.
Awalnya mereka ragu. Tapi setelah membaca berita tentang UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh, mereka baru paham bahwa pemerintah sudah mengatur dengan jelas mekanisme legal bagi jamaah yang ingin berangkat mandiri. Artinya, selama visa dan dokumen lengkap, mereka tidak melanggar hukum.
Dengan bimbingan anaknya, mereka menemukan penyedia jual visa umroh mandiri yang terdaftar resmi di Kementerian Agama. Prosesnya ternyata sederhana. Setelah menyerahkan paspor dan data pribadi, mereka mendapat konfirmasi visa dalam beberapa hari.
“Rasanya seperti mimpi,” kata Bu Rini sambil menatap lembar visa elektronik itu. “Nama kami tercetak di situ, resmi akan menuju Tanah Suci.”
Anak mereka membantu memesankan tiket pesawat dan hotel dekat Masjidil Haram agar tidak terlalu jauh berjalan. “Kami sengaja pilih hotel yang ada shuttle bus 24 jam,” ujar Pak Hadi. Ia bahkan mencetak peta arah Masjidil Haram dan jadwal salat lima waktu agar tidak kebingungan di sana.
Perjalanan mereka dimulai pada awal Februari. Meski berdua saja, semangat mereka membara. “Kami bukan turis, tapi tamu Allah,” kata Pak Hadi sesaat sebelum berangkat.
Sesampainya di Makkah, rasa haru langsung menyelimuti. Pak Hadi menatap Ka’bah dengan mata berkaca-kaca. “Inilah rumah Allah yang selama ini cuma saya lihat di televisi,” ucapnya pelan, sementara Bu Rini berbisik doa di sampingnya.
Karena sudah sepuh, mereka berdua melakukan thawaf dengan ritme perlahan. Tak ada pemandu, tak ada rombongan besar, hanya mereka berdua berpegangan tangan di tengah lautan jamaah. “Saya merasa justru lebih khusyuk,” kata Bu Rini. “Tidak terburu-buru, tidak sibuk foto-foto, hanya ingin dekat dengan Allah.”
Mereka belajar banyak hal sendiri — mulai dari cara membaca arah miqat, mencari tempat makan halal, hingga menyesuaikan waktu salat di Masjidil Haram. “Ternyata semua bisa, asal sabar dan mau bertanya,” ujar Pak Hadi. Petugas lokal bahkan beberapa kali membantu mereka menemukan kursi roda ketika kaki Bu Rini mulai pegal.
Saat tiba di Madinah, suasana menjadi lebih damai. Di Masjid Nabawi, Pak Hadi menangis lama di depan makam Rasulullah. “Dulu saya takut tidak sempat sampai usia ini,” katanya pelan. “Tapi Allah memberi waktu, memberi kesehatan, dan memberi kesempatan.”
Perjalanan umroh mandiri mereka menjadi bukti bahwa usia bukan penghalang. Justru di usia senja, kedekatan dengan Allah terasa lebih dalam. Setiap langkah penuh makna, setiap doa terasa lebih khusyuk.
Sepulang dari Tanah Suci, Pak Hadi dan Bu Rini jadi inspirasi bagi lingkungan sekitar. Tetangga yang semula skeptis kini justru tertarik mengikuti jejak mereka. Banyak yang datang bertanya bagaimana cara mengurus visa umroh mandiri, di mana membeli tiket yang aman, hingga bagaimana menjaga stamina selama di Makkah.
“Sekarang kami sering bantu orang lain menyiapkan perjalanan mereka,” ujar Bu Rini sambil tersenyum. “Kami ingin orang tahu bahwa umroh mandiri itu bukan menyalahi aturan, tapi justru bentuk kemandirian yang diakui pemerintah dan dilindungi hukum.”
Bagi mereka, umroh mandiri bukan sekadar perjalanan ibadah, tapi perjalanan hidup — dari keraguan menuju keyakinan, dari kelelahan menuju ketenangan. “Kami datang ke sana bukan untuk mencari kemewahan,” kata Pak Hadi. “Kami hanya ingin memastikan sebelum ajal tiba, kami sudah pernah menjadi tamu Allah”
Kini, di rumah kecil mereka di Semarang, tergantung foto dua lansia berdiri di depan Ka’bah, tangan saling menggenggam erat. Di bawahnya tertulis tulisan sederhana dari tangan Bu Rini:
“Tak ada kata terlambat untuk menjawab panggilan Allah
Langkah di Usia Senja: Kisah Pensiunan Berangkat Umroh Mandiri Tanpa Travel
як Hasan Basri (2025-11-01)
Setelah puluhan tahun bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah kantor kecil di Semarang, Pak Hadi (63) akhirnya pensiun. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk hidup sederhana bersama istrinya, Bu Rini (59). Sejak muda, mereka punya satu cita-cita yang terus disimpan rapat: menunaikan umroh bersama.
“Setiap kali lihat berita orang berangkat umroh, hati ini selalu bergetar. Tapi waktu itu, kami selalu bilang, belum rezeki,” kenang Bu Rini dengan senyum lembut.
Begitu Pak Hadi menerima uang pensiun, hal pertama yang ia lakukan bukan membeli mobil atau merenovasi rumah—tapi membuka buku tabungan lama bertuliskan “Tabungan Umroh”. Ia menatap istrinya dan berkata pelan, “Bu, kayanya waktunya kita berangkat ke Baitullah.”
Namun ketika mereka mulai mencari informasi, harga paket umroh terasa memberatkan. Belum lagi jadwal travel yang sering tak fleksibel. “Saya sudah tidak sekuat dulu,” ujar Pak Hadi. “Kalau ikut rombongan besar, takutnya malah kerepotan.”
Sampai akhirnya, anak mereka yang bekerja di Jakarta memperkenalkan konsep umroh mandiri. “Sekarang banyak jamaah berangkat sendiri, asal tetap lewat jalur resmi, Pak,” ujar anaknya.
Awalnya mereka ragu. Tapi setelah membaca berita tentang UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh, mereka baru paham bahwa pemerintah sudah mengatur dengan jelas mekanisme legal bagi jamaah yang ingin berangkat mandiri. Artinya, selama visa dan dokumen lengkap, mereka tidak melanggar hukum.
Dengan bimbingan anaknya, mereka menemukan penyedia jual visa umroh mandiri yang terdaftar resmi di Kementerian Agama. Prosesnya ternyata sederhana. Setelah menyerahkan paspor dan data pribadi, mereka mendapat konfirmasi visa dalam beberapa hari.
“Rasanya seperti mimpi,” kata Bu Rini sambil menatap lembar visa elektronik itu. “Nama kami tercetak di situ, resmi akan menuju Tanah Suci.”
Anak mereka membantu memesankan tiket pesawat dan hotel dekat Masjidil Haram agar tidak terlalu jauh berjalan. “Kami sengaja pilih hotel yang ada shuttle bus 24 jam,” ujar Pak Hadi. Ia bahkan mencetak peta arah Masjidil Haram dan jadwal salat lima waktu agar tidak kebingungan di sana.
Perjalanan mereka dimulai pada awal Februari. Meski berdua saja, semangat mereka membara. “Kami bukan turis, tapi tamu Allah,” kata Pak Hadi sesaat sebelum berangkat.
Sesampainya di Makkah, rasa haru langsung menyelimuti. Pak Hadi menatap Ka’bah dengan mata berkaca-kaca. “Inilah rumah Allah yang selama ini cuma saya lihat di televisi,” ucapnya pelan, sementara Bu Rini berbisik doa di sampingnya.
Karena sudah sepuh, mereka berdua melakukan thawaf dengan ritme perlahan. Tak ada pemandu, tak ada rombongan besar, hanya mereka berdua berpegangan tangan di tengah lautan jamaah. “Saya merasa justru lebih khusyuk,” kata Bu Rini. “Tidak terburu-buru, tidak sibuk foto-foto, hanya ingin dekat dengan Allah.”
Mereka belajar banyak hal sendiri — mulai dari cara membaca arah miqat, mencari tempat makan halal, hingga menyesuaikan waktu salat di Masjidil Haram. “Ternyata semua bisa, asal sabar dan mau bertanya,” ujar Pak Hadi. Petugas lokal bahkan beberapa kali membantu mereka menemukan kursi roda ketika kaki Bu Rini mulai pegal.
Saat tiba di Madinah, suasana menjadi lebih damai. Di Masjid Nabawi, Pak Hadi menangis lama di depan makam Rasulullah. “Dulu saya takut tidak sempat sampai usia ini,” katanya pelan. “Tapi Allah memberi waktu, memberi kesehatan, dan memberi kesempatan.”
Perjalanan umroh mandiri mereka menjadi bukti bahwa usia bukan penghalang. Justru di usia senja, kedekatan dengan Allah terasa lebih dalam. Setiap langkah penuh makna, setiap doa terasa lebih khusyuk.
Sepulang dari Tanah Suci, Pak Hadi dan Bu Rini jadi inspirasi bagi lingkungan sekitar. Tetangga yang semula skeptis kini justru tertarik mengikuti jejak mereka. Banyak yang datang bertanya bagaimana cara mengurus visa umroh mandiri, di mana membeli tiket yang aman, hingga bagaimana menjaga stamina selama di Makkah.
“Sekarang kami sering bantu orang lain menyiapkan perjalanan mereka,” ujar Bu Rini sambil tersenyum. “Kami ingin orang tahu bahwa umroh mandiri itu bukan menyalahi aturan, tapi justru bentuk kemandirian yang diakui pemerintah dan dilindungi hukum.”
Bagi mereka, umroh mandiri bukan sekadar perjalanan ibadah, tapi perjalanan hidup — dari keraguan menuju keyakinan, dari kelelahan menuju ketenangan. “Kami datang ke sana bukan untuk mencari kemewahan,” kata Pak Hadi. “Kami hanya ingin memastikan sebelum ajal tiba, kami sudah pernah menjadi tamu Allah”
Kini, di rumah kecil mereka di Semarang, tergantung foto dua lansia berdiri di depan Ka’bah, tangan saling menggenggam erat. Di bawahnya tertulis tulisan sederhana dari tangan Bu Rini:
“Tak ada kata terlambat untuk menjawab panggilan Allah